Dokter Spesialis Di Nias, Dibuang Tapi Dirindu

Dokter Spesialis Di Nias, Dibuang Tapi Dirindu - Hallo sahabat Berita Berita, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Dokter Spesialis Di Nias, Dibuang Tapi Dirindu, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Berita Berita, Artikel Berita dini hari, Artikel Berita hangat, Artikel Berita harga, Artikel Berita hari ini, Artikel Berita islam, Artikel Berita jalanan, Artikel Berita kemarin, Artikel Berita malam ini, Artikel Berita politik, Artikel Berita terbaru, Artikel Berita war, Artikel ini Berita, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Dokter Spesialis Di Nias, Dibuang Tapi Dirindu
link : Dokter Spesialis Di Nias, Dibuang Tapi Dirindu

Baca juga


Dokter Spesialis Di Nias, Dibuang Tapi Dirindu

Sati Budiman Gea |Foto: dok. WNC
Oleh: Budi Gea

“Jauh panggang dari api” demikianlah pepatah melukiskan kisah ini. Tugas Pemda yang seharusnya menyediakan Sumber Daya Manusia (SDM) handal, malah kelihatan “blunder” ketika memindahkan dokter spesialis ke puskesmas yang kuat dugaan dilakukan hanya karena kepentingan sesaat.

Pemindahan Dokter Spesialis ke Puskesmas yang kurang memadai dari sarana memberikan kesan bahwa panataan SDM yang ada sungguh jauh dari niat memperjuangkan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Meski Puskesmas tersebut sudah memiliki sarana yang mumpuni, Puskesmas bukanlah tempat tugas utama Dokter Spesialis.

Hal demikianlah yang terjadi di lingkungan pemerintah Kabupaten Nias. Pemindahan Dokter Spesialis ke Puskesmas berulang lagi, Pemerintah Daerah (Pemda) merasa memiliki legitimasi kuat dalam kebijakan pemindahan dokter karena stasus kepegawaian dokter tersebut adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). Akibatnya puskesmas terkesan dijadikan “keranjang sampah” oleh Kepala daerah.

Jika ditilik kebelakang, kejadian pemindahan dokter spesialis pernah terjadi pada Maret 2013 dan Juli 2017 ke puskesmas di Kabupaten Nias. Jelas, konflik kepentingan sangat kental terasa. Dimana seorang pejabat mempertontonkan kepongahannya di depan publik. 

Memaksakan kebijakan yang tendesius menjadi contoh buruknya implementasi reformasi birokrasi di bidang kesehatan khususnya di Kabupaten Nias.

Kebijakan yang kurang tepat itupun mendapat respon yang ramai di kalangan publik hingga menyasar ruang-ruang sosial media (sosmed), bahkan memantik protes dari Organisasi Profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perkumpulan Obstetrik Ginekologi Indonesia (POGI), Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan Wajib Kerja Dokter Spesialis (WKDS).

Pasalnya, kebijakan yang dilakukan bertolak belakang dengan program yang sedang diperjuangkan oleh Pemkab Nias yakni "merindukan" dokter spesialis dengan meminta tenaga kesehatan melalui Kemenkes RI baik berupa tenaga spesialis WKDS. Karena tidak terpenuhinya jumlah tenaga medis selalu dijadikan dalil yang menyebabkan Ketidakoptimalan layanan di pusat layanan kesehatan khususnya Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). 

Sementara Dokter Spesialis yang sudah ada harus "dibuang", hanya karena persoalan "like and dislike".

Hal itu menambah buruk citra Pemkab Nias bahkan harus di “bully” di sosial media, karena berulangnya kebijakan yang kurang tepat membuka mata publik bahwa pelayanan kesehatan, dapat dijadikam ajang penyaluran nafsu politis dan rawan intervensi bagi pemangku kepentingan yang berpikir “sesat” dalam mengakomodir agendanya.

Bila ditilik rasio jumlah dokter dengan penduduk di Kabupaten Nias sungguh sangat jauh dari rasio yang diharapkan pemerintah, bahkan masih banyak puskesmas di kabupaten Nias belum memiliki dokter umum sebagai ujung tombak di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat pertama).

Padahal daripada memindahkan dokter spesialis ke puskesmas yang sangat jelas memutarbalikkan fakta dan logika publik. Masih Banyak persoalan yang harus diselesaikan pemerintahan daerah Nias dalam peningkatan layanan di RSUD Gunungsitoli. Beberapa diantaranya pengelolaan lingkungan khususnya limbah rumah sakit masih menjadi persoalan dan izin pendirian gedung baru yang masih belum tuntas.

Berdasarkan profil kesehatan Indonesia, pada tahun 2015 hanya 256 dari 2.488 rumah sakit atau 10, 29 %-nya saja yang melakukan pengelolaan limbah medis sesuai standar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan rumah sakit masih belum serius akan pentingnya pengelolaan lingkungan untuk meminimalisir dampak merugikan terhadap kehidupan sekitar.

Berulangnya pemindahan dokter spesialis yang semena-mena, menunjukkan bahwa Seharusnya lembaga RSUD (Rumah Sakit Umum Daerah) harus independen dan otonom dalam melaksanakan tata kelola rumah sakit tanpa adanya campur tangan kepentingan lainnya.

Agar pejabat pengelola rumah sakit daerah terutama Direktur RSUD  yang selama ini sangat rawan dengan kepentingan politik lokal dan secara beban moral akan banyak terlibat dalam hal-hal yang bersifat non substansial rumah sakit dapat fokus dan konsentrasi terhadap masalah-masalah substansial rumah sakit daripada hanya mengikuti dan menghadiri kegiatan-kegiatan seremonial ketimbang.

Selain itu, Dinas kesehatan harus diperkuat peran dan fungsinya, sebagai regulator, tidak merangkap sebagai operator. Harus cakap dan mengerti akan aturan dan peraturan, sehingga mampu memberikan masukan kepada kepala daerah dalam membuat kebijakan dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.

Agar hal itu terpenuhi Kepala Dinas Kesehatan harus "Strong Leader", mampu mempengaruhi dan mau melakukan transformasi budaya dan mampu memberi reward dan konsekuensi. Itu didapatkan melalui persyaratan dan prosedur pengangkatan jabatan yan jauh dari politik balas jasa ataupun bagi-bagi jabatan.

Bahkan DPRD Kabupaten Nias juga yang memiliki fungsi pengawasan, seharusnya tidak menjadi “tukang stempel” penguasa. Seakan ikut dalam pusaran permainan dan kepentingan pemerintah daerah sendiri tanpa adanya koreksi dan rekomendasi. Itu terlihat pasca rapat dengar pendapat, DPRD Nias seolah tidak punya kekuatan politik dalam meluruskan salahnya kebijakan memindahkan dokter spesialis.

Padahal semua anggota DPRD Kabupaten Nias sudah disumpah untuk melaksanakan amanahnya. 

Mengamini kebijakan yang salah hanya akan mempertontonkan kualitas dewan yang jauh dari standarnya. Anggota dewan yang tidak memiliki integritas dan kualitas yang baik akan menjadi salah satu faktor penghambat kemajuan daerah Nias.


Merunut semua ulasan dapat dipastikan bahwa terjadinya pemindahan spesialis ke puskesmas untuk ke-3 kalinya diakibatkan Bupati dan jajarannya tidak memahami regulasi yang mengatur tentang penempatan dokter spesialis. Terutama Kepala dinas kesehatan diduga minim wawasan terkait regulasi kesehatan. 

Kalaupun mengetahui namun tidak memiliki integritas yang baik.
Selain itu dimungkin juga terjadi karena, “conflict of interest” dengan pimpinan rumah sakit dalam hal gratifikasi pada proyek-proyek tertentu. Bahkan diduga Pimpinan rumah sakit bermain “politik praktis” namun minim dievaluasi Bupati. 

Ditambah lagi belum diimplementasikan secara maksimal fungsi badan pengawas, auditor dan inspektorat yang profesional.
Hal lainnya, karena Pemda kurang memahami peranan organisasi profesi khususnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam pengawasan dan pembinaan tenaga kesehatan. Apalgi Pemindahan dokter spesialis pertama kali tidak diprotes sehingga menjadi preseden buruk bagi kebijakan selanjutnya.

Bahkan terkesan Tidak melaksanakan sila ke-5 : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Untuk meperbaikinya, Jajaran Pemerintah daerah sebaiknya lebih menguasai regulasi/kebijakan  yang ada saat ini. Libatkanlah organisasi profesi dalam pendekatan dan pembinaan profesi, Bekerja secara profesional dan sesuai standar,  Jauhi konflik kepentingan dan kesewenang-wenangan, dan terbuka bagi kritikan dari semua elemen masyarakat.

Selain itu, cegahlah potensi FRAUD/kecurangan  dalam pelaksanaan pemerintahan di lingkupnya, Hindari kegaduhan dengan meningkatkan komunikasi yang efektif dengan semua jajarannya, Bekerja dengan integritas yang baik, dan jauhi KKN, Evaluasi rutin kinerja pejabat.

Kesimpulannya, pemerintahan kabupaten Nias perlu ebih bijak dalam mengelola rumah sakit, pertimbangan dan kebijakan seharusnya tidak menabrak dan berbenturan dengan regulasi yang ada.

Rumah sakit merupakan layanan publik, sehingga diharapkan keterbukaan pelayanan publik lebih diperhatikan. Pimpinan rumah sakit harus yang profesional, independen dan otonom dan tidak terlibat dalam pusaran politik tetapi lebih berfokus pada peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat.

Dinas kesehatan seharusnya lebih peka dalam mengantisipasi segala kebijakan di bidang kesehatan yang dikeluarkan pemangku kepentingan, aktif memberi masukan yang konstruktif, berani bersuara akan ketidakbenaran apa lagi bila jauh dari aturan yang sebenarnya.

Karena kesehatan adalah hak semua masyarakat dan pemerintah harus menjamin ketersediaannya.

Penulis: Sati Budiman Gea, A.Md (Budi Gea) bekerja sebagai Pemimpin Redaksi wartanias.com dan penggiat Sosial Media.




Demikianlah Artikel Dokter Spesialis Di Nias, Dibuang Tapi Dirindu

Sekianlah artikel Dokter Spesialis Di Nias, Dibuang Tapi Dirindu kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Dokter Spesialis Di Nias, Dibuang Tapi Dirindu dengan alamat link https://kuberitai.blogspot.com/2018/05/dokter-spesialis-di-nias-dibuang-tapi.html

Subscribe to receive free email updates: