Judul : Nasionalisme Digadai, Kongkalikong Tambang Bowone"' Bupati Tak Tanda Tangani Amdal
link : Nasionalisme Digadai, Kongkalikong Tambang Bowone"' Bupati Tak Tanda Tangani Amdal
Nasionalisme Digadai, Kongkalikong Tambang Bowone"' Bupati Tak Tanda Tangani Amdal
Asril Tatande (Gambatte Asril) |
Sangihe, Elnusanews - "Rakyat Sangihe Berhak Menolak Jika Tanah Lelurnya Diobrak Abrik". Membahas masalah nasionalisme dalam kasus pertambangan adalah sesuatu yang dilematis. Nasionalisme lebih berbicara riil dan makro mengenai perlindungan serta pemenuhan hak dan kewajiban setiap warga negara. Sementara pertambangan berbicara lebih mikro mengenai materialisme dan pemenuhan kepentingan multisektor antar elit. Kedua pemahaman yang saling berbenturan tersebut memperlihatkan adanya polaritas aktor dan kepentingan yang berbeda, terlebih dalam melihat kasus tambang di kabupaten kepulauan Sangihe. Pintu masuk dalam melihat relasi konflik kepentingan tersebut dimulai dengan dua pertanyaan kunci, yakni:
1) “Tambang di Bowone" itu baiknya dikelola dalam mekanisme public goods, private goods, atau common pool resources ?
2) Bagaimana baiknya peran kebijakan negara dalam kasus pertambangan. Oleh karena itu, pemaknaan bahasa antara “sumber daya alam” dan “tambang” menjadi poin yang perlu digaribawahi karena kedua kata itu menunjukkan dua kepentingan yang berbeda.
Tujuan sakralisasi tersebut adalah melindungi kebutuhan setiap anggota masyarakat yang tergantung dari keberadaan sumber daya. Konteks pengelolaan sumber daya diserahkan melalui mekanisme komunal atau milik rakyat atau umum. Dalam taraf ini, nasionalisme bagi warga masyarakat lebih kepada pemenuhan kebutuhan komunitas dalam satu lingkup geografi yang sama. Namun, ketidak hadirnya negara melalui nasionalismenya justru menciptakan sumber ketegangan baru di tengah masyarakat "Tampungang Lawo kota Malahasa". Bisa dikatakan NASIONALIME itu digadai.
Ketegangan itu bersumber pada upaya negara untuk mengakuisisi sumber daya sebagai bagian dari domain negara. Nasionalisme sebagai produk politik peninggalan abad XX ini memang dilematis. Hal tersebut dikarenakan negara dimunculkan sebagai aktor penting yang memayungi berbagai macam kepentingan berbasis legal formal. Dalam kasus Indonesia, nasionalisme dalam tambang diejawantahkan atau diwujudkan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Pengertian dari ayat tersebut ialah sumber daya yang dinilai strategis dan bernilai ekonomi menjadi barang publik (public goods) yang dikuasai negara.
Tambang dihadirkan untuk menggantikan makna sumber daya (resources) yang dimiliki masyarakat. Dari situlah kemudian terjadi kontestasi kuasa antara negara dan masyarakat khususnya pemerintah pusat di Jakarta dengan kabupaten di Sangihe dalam pengelolaan sumber daya alam. Eksistensi masyarakat terutama yang diwakili oleh orang asli adalah aktor yang pertama kali hadir sebelum datangnya negara dalam mengelola sumber daya alam. Meskipun tidak memiliki dasar legal formal seperti yang dilakukan oleh negara, mereka memiliki tradisi lisan yang diwariskan secara turun temurun oleh nenek moyang orang Sangihe mengenai kepemilikan sumber daya alam berikut dengan kearifan lokal yang turut menjaganya, seperti tambang di Bowone.
Kajian yang ada kurang melihat sisi dinamika internal nasionalisme, terutama dalam hal kepemilikan (belonging). Hal itulah yang menjadikan relasi nasionalisme dalam dinamika internal menjadi sedemikian kompleks karena berkaitan dengan afiliasi dan afinitas individu. Mereka lebih mengenali unsur lokal terlebih dahulu sebelum unsur nasional. Terlebih, konteks sumber daya alam menjadi aspek krusial. Konteks public goods yang dikedepankan oleh negara seringkali tidak mengafirmasi kepentingan masyarakat lokal selaku pemilik asli. Dengan mengatasnamakan “kemakmuran sebesar-besarnya”, pengelolaan sumber daya alam pun kemudian beralih yang semula bersifat “public goods” menjadi “private goods” dengan memunculkan korporasi sebaagai aktor ketiga. Munculnya aktor ketiga inilah yang justru menambah pelik kontestasi kuasa sumber daya alam. Dalam hal ini, pengaruh kepentingan ekonomi, sosial, maupun politik menjadi campur aduk dan tumpang tindih. Meskipun di awal disebutkan secara normatif bahwa “kemakmuran sebesar-besarnya” diusahakan untuk kepentingan masyarakat secara lebih luas, justru kepentingan elit yang lebih banyak berperan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Kebijakan pertambangan di Indonesia dimulai dari UU No. 10 Tahun 1959 mengenai Pembatalan Hak-hak Pertambangan pada saat Orde Baru, UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan pada saat Orde Baru berkuasa, dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara saat ini. Ketiga produk UU tersebut menunjukkan substansi kuat kepemilikan otoritatif negara terhadap kepemilikan sumber daya alam. UU tersebut juga menempatkan korporasi atau badan usaha yang sah sebagai mitra strategis pemerintah kabupaten Sangihe, provinsi Sulawesi Utara, pusat yaitu kementerian ESDM beberapa tahun lalu dalam mengelola sumber daya alam melalui kontrak karya di Sangihe yang diduga kuat habis masa kontraknya sampai tahun 2031. Lalu, di mana peran masyarakat?
Waktu itu konteks masyarakat justru dikerdilkan oleh negara beserta korporasi lebih diutamakan. Sehingga berbagai konflik, baik yang sifatnya laten maupun nyata, terjadi di sekitar area pertambangan di Bowone "tanah mahamu" (tanah merah). Begitu juga saat ini semua aktor berebut keuntungan materi dari sumber tambang tersebut. "Bahkan mungkin ada segelintir orang atau kelompok yang kongkalingkong". Dengan dalih demi kepentingan masyarakat, tapi seyogyanya untuk kepentingan politik dimasa yang akan datang. Sebab Bupati Sangihe tidak pernah menandatangani AMDAL Tambang di Bowone, Bupati hanya mengamankan perintah negara berdasarkan Undang-Undang.
"Apapun itu, kedaulatan ada ditangan rakyat. Rakyat Sangihe berhak menolak jika tanah leluhurnya akan diobrak abrik oleh orang-orang yang hanya mengejar keuntungan bisnis demi kepentingan kelompok atau aktor-aktor intelektualnya". Tutup Gambatte Asril (***)
(Donny)
Demikianlah Artikel Nasionalisme Digadai, Kongkalikong Tambang Bowone"' Bupati Tak Tanda Tangani Amdal
Anda sekarang membaca artikel Nasionalisme Digadai, Kongkalikong Tambang Bowone"' Bupati Tak Tanda Tangani Amdal dengan alamat link https://kuberitai.blogspot.com/2021/03/nasionalisme-digadai-kongkalikong.html